Skip to main content

Semangat Berkomunitas dan Pemberdayaannya

Media sosial ternyata membawa angin segar bagi semangat berkomunitas di tanah air. Berdasarkan pengamatan penulis, di tahun 2020 ketika pandemi membatasi gerak banyak orang, semangat berkomunitas justru bangkit dan merambahi eksistensi di dunia maya melalui gerakan-gerakan daring. 

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa eksistensi manusia saat ini dapat dibagi menjadi dua: eksistensi nyata dan eksistensi maya. Dua-duanya sama diakui, dan bahkan seiring perkembangan zaman, eksistensi di dunia maya semakin penting demi pengakuan masyarakat. Konsep ini selaras pula dengan perkembangan eksistensi badan, komunitas, dan instansi: semuanya diakui sah dan resmi oleh masyarakat apabila memiliki akun di media sosial yang terverifikasi. 

Di tahun 2020 ketika pandemi membatasi gerak banyak orang, semangat berkomunitas justru bangkit. Sebut saja komunitas badan amal, komunitas belajar daring, komunitas seni, komunitas psikologi, dan komunitas-komunitas lainnya. Mulai dari intensi umum sampai intensi khusus, semua dapat dikembangkan lewat komunitas di media sosial. 

Berkaca pada fenomena ini, penulis melakukan sebuah obrolan singkat dengan seorang pegiat komunitas lokal bernama Jein Oktaviany, seorang penulis dan pemrakarsa Kawah Sastra Ciwidey.

Kawah Sastra Ciwidey adalah sebuah komunitas lokal di daerah Ciwidey, Bandung, yang didirikan kurang-lebih tiga tahun lalu dengan tujuan sederhana, yaitu untuk membagi semangat baca dan literasi kepada masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, tujuan komunitas ini digodok sedemikian rupa menjadi sebuah tajuk: "Memasyarakatkan sastra di lingkungan Ciwidey, Pasirjambu, dan Rancabali." 

Tentu saja, seperti namanya, Komunitas Kawah Sastra Ciwidey (KSC) bermarkas di sebuah garasi rumah milik A Jein, di Ciwidey, Bandung. Di sana, terdapat beberapa rak berisi buku-buku bacaan yang dapat dipinjam, serta sedikit halaman kosong untuk diskusi. Selama pandemi, KSC sempat menghentikan kegiatan operasionalnya, namun kini sudah kembali beroperasi lagi dengan protokol kesehatan. 

Apakah kegiatan operasional Kawah Sastra Ciwidey? Aku dan A Jein sepakat, kalau sebuah komunitas hanya perlu memiliki sebuah kegiatan rutin yang disepakati bersama untuk membentuk tujuan bersama. Di Kawah Sastra Ciwidey, kegiatan rutin itu ialah diskusi dan bedah buku. Memang tak mewah dan tak ideal, namun kata A Jein, kegiatan itu bila rutin dilakukan akan membawa atmosfir yang berbeda kepada lingkungan mereka. Di masa pandemi ini, Kawah Sastra Ciwidey juga berimprovisasi dengan menghadirkan gerakan baca bersama melalui media sosial. Kegiatan ini sempat dibuka untuk umum, lalu kembali dispesifikkan untuk masyarakat sekitar Ciwidey --demi tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan sejak awal. Metode gerakan baca bersama ini juga bisa dibilang sederhana: setiap orang yang hadir melaporkan buku dan jumlah halaman yang dibaca, untuk kemudian dihitung poinnya. Setelah buku selesai, mereka wajib menyetorkan ulasan singkat. Untuk pembaca dengan halaman terbanyak setiap bulannya akan mendapat hadiah kecil-kecilan dari Kawah Sastra. 

Kini, Kawah Sastra menjadi medium yang menyenangkan bagi masyarakat sekitar, baik anak-anak sampai remaja hampir dewasa. Karena A Jein sendiri sudah tergolong sebagai remaja hampir dewasa, maka ia berusaha untuk tetap sefrekuensi dengan teman-teman seumurannya di sekitar Kawah Sastra. Menurutnya, KSC dan komunitas lokal lain tidak boleh menjadi eksklusif ketika berjalan, namun justru harus selaras dengan semangat lokalitas masyarakat. 

Selama beberapa tahun ini, Kawah Sastra Ciwidey berhasil bertahan. Kini mereka punya instagram, @kawahsastraciwidey, dan bahkan menggalang dana komunitas lewat platform kitabisa.com. Kata A Jein, eksistensi Kawah Sastra Ciwidey di media sosial membawa perubahan cukup banyak. Ada penulis-penulis beken yang suka mampir di Kawah Sastra karena kenal di Instagram, ada bantuan baik tunai maupun hibahan buku tak terduga dari warganet twitter dan Instagram, bahkan mereka mendapat paket buku dari Gramedia. Sebuah perjalanan singkat yang menarik. 

Aku bertanya pada A Jein, mengapa gerakan baca buku bersama tidak dibuka untuk umum seperti dulu lagi. Katanya, gerakan baca buku bersama itu tidak banyak gunanya di media sosial. Kita sangat bergantung pada kepercayaan antar-anggota, dan sesungguhnya, di media sosial hal itu sulit dilakukan. Gerakan baca buku bersama di Ciwidey adalah taktik kecil untuk masyarakat sekitar untuk mau membaca lebih banyak di Kawah Sastra, setidaknya mampir dan terlibat dalam diskusi, sampai meresapi atmosfir sastra yang tercipta. Untuk warganet di luar Ciwidey, ini adalah ajakan sekaligus tantangan untuk memasyarakatkan sastra di lingkungannya sendiri. A Jein bilang, "kamu buka saja, Cy, di rumahmu. Kan sama saja dengan aku di Ciwidey." Ah, itu adalah mimpi. Perkembangan Ciwidey akan jadi perjalanan dan pelajaran yang sangat berarti.

Comments