Skip to main content

Esai: Resesi Ekonomi Jepang


Perang Dunia II

Ketika perang dunia kedua meletus, Kaisar Hirohito termahsyur reputasinya melebihi kepala negara. Ia adalah keturunan dewa matahari Amaterasu, personofikias bangsa, pemimpin spiritualitas negara, dan simbol persatuan rakyat Jepang. Kaisar Hirohito juga diharapkan menjadi teladan atas sikap tanpa menyerah yang melekat di benak setiap warga Jepang, termasuk prajuritnya. Daripada kalah atau menanggung malu karena ditangkap musuh, prajurit Jepang lebih memilih mati atau bunuh diri, sebagaimana dicontohkan para samurai dengan ritual seppuku (harakiri).

Namun, Jepang saat itu benar-benar sudah hancur. Bom atom di Nagasaki dan Hiroshima menjadi klimaks serangan udara AS yang menjatuhkan Jepang. Barang kebutuhan langka. Inflasi melesat naik. Transportasi lumpuh. Industri mandek. Ekonomi compang-camping. Belum lagi ancaman serangan dari Uni Soviet usai dipatahkannya pakta netralitas kedua negara. Jepang, atas perintah Kaisar Hirohito, akhirnya memilih damai. Ia berhasil menyingkirkan tekanan dari para jenderal yang ingin Jepang meneruskan perang sampai titik darah penghabisan.

“Untuk berjuang demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama semua bangsa, serta keamanan dan kesejahteraan rakyat kita, adalah kewajiban serius yang telah diwariskan oleh nenek moyang kekaisaran dan yang dekat dengan hati kita.”

Hirohito kemudian menjadi simbol kebangkitan pasca-perang Jepang. Ia meneruskan kepemimpinannya, tak lagi sebagai kaisar yang berdaulat penuh, melainkan sebagai pemimpin monarki konstitusional. Perubahan ini tercantum dalam Konstitusi 1947 yang mengamandemen Konstitusi Meiji –sebagian besar isinya didikte oleh AS selaku pemenang perang. Hirohito menggambarkan tujuh tahun setelah itu seperti “menanggung yang tak tertahankan dan menderita apa yang tak bisa diderita.”

Standar kehidupan di perkotaan menurun amat drastis. Pangan langka. Penyakit menjangkiti orang-orang. Kelaparan massal mewabah di mana-mana. Tentara yang berada di bekas koloni tak punya modal pulang kampung. Ada yang jadi pekerja murah di Uni Soviet hingga meninggal. Lainnya bernasib tak jelas.

Yang membuat Jepang bangkit secara luar biasa di periode selanjutnya adalah etos kerja dan kedisipinan yang menakjubkan dalam diri setiap warga negara. Para ahli menyebutnya sebagai keajaiban karena pertumbuhan ekonomi Jepang melesat dalam durasi dan skala yang melampaui ekspektasi orang-orang. Hingga pertengahan 1950-an, ekonomi Jepang mengalami penyembuhan berkat reformasi ekonomi dari pemerintah. Investasi jalan lagi. Hingga awal 1970-an Jepang mengalami pertumbuhan PDB yang menjanjikan. Konsumsi meningkat, baik yang pokok hingga yang rekreasional. Atmosfer ini menggerakkan berbagai sektor industri pemenuh kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Di saat yang bersamaan proyek infrastruktur terus digenjot hingga ke pelosok. Memasuki 1980-an Jepang menjadi telah memantapkan diri sebagai salah satu eksportir tersukses. Produk kebudayaan modern mereka laris manis di pasar dunia. Pasar saham Jepang berkali-kali meraih rekor tertinggi.

 

Dasawarsa yang Hilang

Pada 22 September 1985, lima negara berpengaruh dalam ekonomi dunia melakukan pertemuan, dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai Plaza Accord. Kelima negara tersebut adalah Jerman Barat, Perancis, Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris. Jepang, persis seperti Tiongkok saat ini, kerap menjadi pusat perhatian ekonom dunia karena Jepang mulai menjadi pelaku dominan perekonomian global.

Pasca penandatanganan Plaza Accord, mata uang Yen meningkat tajam dan Jepang harus merelokasi Industri ke luar negeri untuk mempertahankan daya saing. Di dalam negeri perbankan mereka terus menyalurkan pinjaman dalam jumlah besar dengan tingkat bunga sangat rendah. Ke negara berkembang Jepang aktif memberikan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur. Jepang akhirnya menjadi bangsa kreditor terbesar di dunia.

Dana murah ini di kemudian hari malah menyebabkan menurunnya laju konsumsi, meningkatkan harga tanah dan hadirnya bubble asset dalam skala masif di perekonomian Jepang. Upaya mengontrol inflasi dengan kebijakan menaikkan suku bunga antar bank pada tahun 1989 telah menyebabkan harga tanah jatuh dan pasar modal terguncang.

Pengamat kemudian mulai ramai membicarakan perilaku perbankan Jepang yang disebut sebagai penyebab utama. Beberapa pengamat bahkan menyebutnya sebagai “Zombie Bank.” Jepang mengalami apa yang disebut sebagai perangkap likuiditas. Tingkat bunga perbankan di Jepang kurang dari 1 persen pada saat itu. Di sisi lain mereka harus terus mendanai debitur besar dengan kinerja keuangan buruk. Ekonom juga menyebut situasi ini sebagai “balance sheet recession.”

Pengamat Jepang menyatakan semua ini sebagai kekeliruan “fallacy of the lost decade.” Setelah Plaza Accord 1985, mata uang Jepang terapresiasi tajam. Untuk mengatasi tekanan biaya produksi, banyak perusahaan manufaktur Jepang kemudian bermigrasi ke luar negeri, terutama di kawasan Asean dan Asia Timur lain. Akibatnya jumlah industri di Jepang ikut merosot. Dari tahun 1985 hingga tahun 1990, rata-rata tingkat pertumbuhan jumlah pabrik per tahun -0.1%, sementara pada periode 1990-1995 pertumbuhan -2.2% per tahun dan terus menurun menjadi -2.4% per tahun pada periode 1995-2000. Situasi ini memperburuk permintaan domestik terutama untuk usaha kecil dan menengah.

Untuk memperbaiki keadaan, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan Industrial Cluster Plan pada tahun 2001. Industrial Cluster Plan terdiri atas tiga program inti: mendorong aliansi antar perusahaan dengan lembaga riset (universitas); membantu inovasi teknik di sektor industri, mendorong kewirausahaan melalui incubator.

Selain memperkuat keterpautan antara industri besar dengan usaha kecil menengah yang ada, kebijakan ini berhasil mendorong perkembangan yang berarti di daerah. Okinawa yang sebelumnya relatif tertinggal akhirnya berhasil berkembang menjadi wilayah industri ICT terkemuka. Struktur Industri di Jepang kian mengakar. Hingga 2012, UKM Jepang memberikan kontribusi 53% PDB, dibandingkan dengan Indonesia yang hanya mencapai 23% PDB.

 

Sumber:
1. Tirto: Jepang Lebur dan Bangkit Bersama Kaisar Hirohito, 7 Januari 2019.
2. Kompasiana: Jepang dan Dekade yang Hilang, 9 Desember 2015.

 


Comments